Perang Jamal
Dari Buku Ali bin Abi Thalib oleh Dr Ali Ash Shallabi. Disarikan oleh Ust. Abdur Rohman
1. Peristiwa yang mendorong terjadinya Perang Jamal adalah terbunuhnya Utsman ra, khalifah ketiga. Pembunuhan Utsman dilakukan bukan oleh satu dua orang, melainkan banyak orang dari berbagai kabilah.
2. Suasana Madinah dan kaum muslimin menjadi sangat kacau setelah pembunuhan itu. Saat pembunuhan itu terjadi, Aisyah ra sedang dalam perjalanan pulang dari Makkah menuju Madinah. Beliau pun lalu kembali ke Makkah.
3. Karena Utsman ra telah dibunuh secara zhalim, maka berdasarkan Al Quran, wajib ditegakkan qishash terhadap para pembunuhnya. Semua sahabat Nabi saw sepakat akan hal ini. Hanya saja, mereka berbeda pendapat tentang cara terbaik untuk melaksanakannya.
Sebab, selain tanggung jawab pelaksanaan qisas, ada tanggung jawab lain yang harus kaum muslimin tunaikan, yaitu menegakkan kepemimpinan umat atau mengangkat khalifah pengganti Utsman ra.
Ada dua kewajiban, mana yang harus difokuskan lebih dulu?
Aisyah, Thalhah, Zubair, dan Mu’awiyah — semoga Allah ridha kepada mereka — berpandangan bahwa qisas lebih mendesak. Jadi harus difokuskan dulu.
Sementara Ali, Ammar, dan sebagian besar sahabat lain berpendapat bahwa khilafah harus ditegakkan dulu secara sempurna supaya negara stabil, lalu qishash dapat dilaksanakan.
4. Segera setelah Utsman ra terbunuh pada tanggal 18 Dzulhijjah 35 H, Ali ra pun dibai’at sebagai khalifah oleh seluruh Muhajirin dan Ansar di Madinah.
Hanya saja, Mu’awiyah ra di Syam belum bersedia berbai’at selama qishash terhadap pembunuhan Utsman ra belum dilaksanakan.
(Jadi salah kalau disebut Mu’awiyah berambisi merebut khilafah)
5. Aisyah ra berpandangan, perlu memberi tahu masyarakat Islam akan pentingnya qishash, dan mengajak mereka bersatu untuk menangkap dan menghukum para pembunuh Utsman ra.
Hal ini setelah selama sekitar empat bulan sejak Ali ra menjadi khalifah, qishash belum juga dilaksanakan sebab Amirul Mukminin Ali ra memandang situasi belum kondusif untuk pelaksanaan qishash dan pihak yang terlibat banyak. Beliau khawatir akan terjadi perpecahan kalau saat itu qishash ditegakkan.
Sementara, Bunda Aisyah ra, Thalhah ra, dan Zubair ra dan penduduk Makkah merasa sangat bersalah kalau sampai tidak berbuat banyak untuk menuntut balas atas kematian Utsman ra, dan mereka khawatir, kalau para pembunuh ini tidak segera dihukum, maka nanti setiap terpilih pemimpin baru, akan terjadi lagi yang terjadi pada Utsman ra.
6. Yang perlu ditekankan di sini : Thalhah dan Zubair ra semula di Madinah bersama Ali ra, dan setelah empat bulan menunggu tapi tidak ada qishash, mereka berdua meminta izin untuk mencari solusi dengan jalan mereka sendiri. Ali ra pun mengizinkan.
7. Yang jadi persoalan rumit itu adalah: para pengacau yang terlibat dalam pembunuhan Usman ra itu ada dalam barisan kaum muslimin di bawah kepemimpinan Ali ra. Mereka bagian dari masyarakat.
Bukan segolongan kaum yang terpisah dari masyarakat. Ali ra khawatir, kalau terburu-buru menghukum mereka, akan pecah perang saudara.
Selain itu, golongan pengacau ini, yang menurut para Ulama sejawaran sunni dipelopori golongan Abdullah bin Saba’, pintar memainkan isu dan memprovokasi, sehingga masyarakat saat itu banyak yang tidak paham apa yang terjadi.
Karena itu, Aisyah, Thalhah, dan Zubair pun bermaksud memahamkan publik tentang apa yang terjadi sesungguhnya, dan mengajak publik mendukung ditegakkannya qishash.
Kalau masyarakat sudah satu suara tentang hal ini, tentu tidak khawatir pecah perang saudara.
Hal inilah yang mendorong Thalhah ra dan Zubair ra bergabung dengan Aisyah ra di Makkah. Mereka pun keluar dari Makkah pada bulan Rabi’ul Akhir tahun 36 H menuju Basrah.
Tujuan mereka sama sekali bukan perang.
Tujuan mereka adalah memahamkan publik, mempersatukan mereka, dan mengajak mereka menegakkan aturan Allah.
8. Setelah mereka sampai di Basrah, mereka mengajak pembesar-pembesar kaum di sana untuk bergabung dengan mereka. Sebagian besar pun bergabung karena melihat di sana ada tiga sahabat yang dijamin surga, tapi sebagian lagi enggan bergabung karena memandang bahwa seharusnya penggabungan kekuatan itu harus melalui koordinasi khalifah. Di antara sahabat yang menolak itu ialah Al Ahnaf bin Qais ra.
9. Gerakan dari Aisyah ra itu mengkhawatirkan sebagian orang Basrah yang terlibat dalam penyerangan Madinah yang mengakibatkan gugurnya Utsman ra, yaitu Hukaim bin Jabalah dkk.
10. Aisyah ra pun terus melakukan kampanye qishash ini ke berbagai penjuru.
Mereka pun hendak menyerang Aisyah ra, tapi dilawan oleh Zubai ra dkk. Terjadi pertempuran. Hukaim dan anak buahnya tewas, kecuali satu orang yang melarikan diri, yaitu Hurqush bin Zuhair. Dia melarikan diri ke kaumnya yaitu Bani Sa’d.
11. Mengamati hal ini, akhirnya, Ali ra pun keluar dari Madinah menuju Kufah (dekat Basrah), untuk berdialog dengan Aishah ra sekaligus untuk mendekat kepada Syam, yang saat itu dipimpin Muawiyah dan belum berbai’at.
12. Ali ra mengajak para sahabat di Madinah untuk keluar bersama beliau. Hanya saja, hanya sedikit yang bersedia. Kebanyakan enggan karena memandang ini adalah fitnah (ujian dan kekacauan) yang pernah diperingatkan Rasulullah saw dan mesti dihadapi dengan pasif dan sabar, meski harus terbunuh.
13. Jadi, sampai di sini, Sahabat Nabi saw terpecah menjadi 3 kelompok : Yang mendukung pendekatan Ali ra, yang mendukung pendekatan Aisyah ra, dan yang tidak mendukung siapapun.
14. Setelah tiba di Kufah, Ali ra mengutus Qa’qa’ bin Amr sebagai duta kepada Aisyah ra.
Qa’qa’ pun tiba di Basrah dan bertemu dengan Aisyah, Thalhah, dan Zubair ra.
Setelah mengetahui maksud baik Aisyah ra, Qa’qa’ ra mengemukakan pandangan beliau mengenai pendekatan yang ditempuh Aisyah ra.
Beliau menjelaskan dengan mengambil contoh Hurqush.
Beliau mengatakan bahwa Hurqush sekarang melarikan diri ke kaumnya Bani Sa’d, dan kaumnya pun seluruhnya secara buta siap membela Hurqush mati-matian.
Padahal jumlah Bani Sa’d sangat banyak.
Maka kalau pendekatan Aisyah ra diteruskan, pilihannya hanya satu: berperang dengan Bani Sa’ad. Opsinya: kalau kalah, terbunuh, kalau menang berarti membunuh ribuan orang yang sebenarnya tidak terlibat pembunuhan Utsman ra.
Dengan penjelasan Qa’qa’ ini, Aisyah ra, Thalhah ra, dan Zubair ra menerima bahwa pendekatan mereka tidak feasible.
Mereka pun meminta pendapat Qa’qa’ bagaimana sebaiknya. Qa’qa’ pun mengajak mereka mendukung khilafah Ali ra, sehingga umat bersatu dalam ketaatan kepada satu pemimpin.
(Pemahaman saya dari pendapat Qa’qa’ ini: Dengan begitu, negara lah yang yang akan melaksanakan qishash sehingga apabila qabilah tidak terima, mereka akan menghadapi seluruh kaum muslimin, dan itu tidak akan terjadi).
Alhamdulillah, Aisyah, Thalhah dan Zubair ra menerima pendapat ini.
Mereka pun siap untuk bergabung dengan Ali ra dan mengikuti pendekatan Ali ra.
15. Ali ra sangat gembira mengetahui bahwa Aisyah ra bersedia bergabung dengan beliau dengan pendekatan yang sama. Beliau pun mengeluarkan instruksi ke semua pasukan: Kita akan berangkat ke Basrah besok.
16. Sampai di sini, perdamaian antar kedua golongan ini hampir terwujud. Tapi golongan para pengacau di tubuh barisan Ali ra sangat khawatir akan hal ini.
Mereka pun di malam hari diam-diam menyusup ke barisan Aisyah ra dan menyerang sebagian orang di sana.
Lalu terjadi serangan balasan. Maka muncullah kecurigaan di dua golongan ini.
Sebetulnya tidak ada kecurigaan di kalangan para pemimpinnya, sebab para Sahabat itu yakin bahwa tidak mungkin sahabat Nabi berkhianat. Tapi pasukan mereka yang kebanyakan bukan sahabat, gampang disulut.
17. Inilah yang akhirnya menyulut perang besar antara kedua pihak. Masing-masing pihak berusaha membela diri karena merasa terancam pihak lain.
18. Sementara Aisyah terus memerintahkan pasukannya untuk berhenti, tapi mereka tidak mau. Thalhah dan Zubair pun mundur dari peperangan, tapi lalu ada orang yang membunuh mereka berdua.
19. Jadi, Peperangan ini disulut oleh para tokoh gelap yang terlibat dalam pembunuhan Usman yang khawatir mereka akan terkena qishash. Yang tersulut adalah orang-orang bodoh di barisan Ali ra dan Aisyah ra.
20. Peperangan ini berakhir setelah Ali ra mengutus Muhammad bin Abu Bakr — saudara Aisyah ra — dan Abdullah bin Budail untuk membawa Aisyah ra ditandu ke hadapan beliau.
Ali ra pun memperlakukan Aisyah ra dengan sangat hormat lalu membawa beliau keluar dari medan pertempuran. Pertempuran pun berhenti.
Jadi seperti itu kurang lebihnya yang terjadi di Perang Jamal. Sumbernya dari buku Dr. As Sallabi.
Maka sebenarnya, Aisyah ra tidak ingin memerangi Ali ra, dan Ali ra tidak ingin memerangi Aisyah ra.
Tapi ketika pasukan yang besar dari keduanya telah tersulut provokasi golongan gelap pembunuh Utsman, perang terjadi karena masing-masing merasa perlu membela diri. Membela diri itu dibolehkan dalam Islam.
Demikian juga, pendekatan yang ditempuh Aisyah, Thalhah dan Zubair itu, yang akhirnya membawa mereka ke tragedi ini, merupakan ijtihad dalam melaksanakan aturan Allah.
Dan sabda Nabi saw: Apabila seorang hakim berijtihad, dan benar, baginya dua pahala. Kalau salah, baginya satu pahala.
Jadi kita mestinya memandang : Para Sahabat Nabi saw itu mereka berbeda ijtihad. Pasti hanya ada satu yang benar, tapi baik yang benar maupun sang salah tidak berdosa sama sekali. Malah mendapat pahala dari Allah karena niat baik dan usaha yang baik dalam berijtihad.
Salah besar kalau dikatakan bahwa Aisyah ingin memerangi Ali. Aisyah ra berniat untuk mendamaikan umat, beramar makruf nahi munkar, bukan berperang.
Tapi setelah terjadinya bentrokan dengan Hukaim bin Jabalah dan larinya Hurqush, baru nampak nyata bahwa pendekatan beliau kurang tepat. Beliau pun setuju dengan pendekatan Ali ra.
Wallahu a’lam bissawab.